FS.JAKARTA -- Iklan kinerja pemerintahan
Joko Widodo di bioskop memantik reaksi. Melalui media sosial,
keberadaan iklan itu dikritik netizen yang merasa terganggu waktu mereka
untuk menikmati hiburan dengan iklan berbau politik.
Sejumlah tudingan dialamatkan kepada pemerintah dengan menyatakan iklan itu sebagai kampanye terselubung. Para politikus pun ikut angkat bicara. Ada yang menganggap lumrah, tak sedikit juga yang memprotes.
Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon pun meminta agar iklan tersebut dicopot. Anggota Badan Komunikasi Partai Gerindra Andre Rosiade menyatakan iklan itu merupakan bentuk kampanye terselubung. Sementara, Kepala Divisi Advokasi dan Bantuan Hukum DPP Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean menilai penayangan iklan pemerintah Jokowi di bioskop melanggar hak-hak konsumen.
Di sisi lain Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) menyatakan iklan itu bukan untuk kepentingan Pemilu atau Pilpres 2019. Namun, mereka mengakui iklan itu dibuat menyasar kaum milenial buat mensosialisasikan keberhasilan pemerintah.
Tudingan kampanye terselubung sulit dibuktikan. Komisioner Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu) Fritz Edward Siregar mengatakan sampai saat
ini belum ada penetapan resmi pasangan calon presiden dan wakil presiden
dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Masa kampanye pun baru dimulai pada
20 September.
"Capres sebagaimana diatur pada pasal 1 ayat 29 UU No 7 Tahun 2017 sebagai pasangan calon yang ditetapkan memenuhi persyaratkan kan belum ada, jadi aturan kampanye sebagaimana pasal 1 ayat 35 itu belum ada," kata Fritz Edward kepada CNNIndonesia.com, Rabu (12/9) kemarin.
Berdasarkan Pasal 1 ayat 35 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum kegiatan kampanye adalah kegiatan peserta pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta pemilu untuk meyakinkan Pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri Peserta Pemilu. Merujuk pada peraturan tersebut iklan keberhasilan pemerintah Jokowi di bioskop belum dikategorikan sebagai kampanye.
"Kami hanya melihat bahwa peserta pemilu itu belum ada," katanya.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
Titi Anggraini menilai penayangan iklan Jokowi di bioskop memanfaatkan
celah hukum. Sebab, berdasarkan UU Pemilu Jokowi belum secara resmi
terdaftar sebagai capres sehingga kegiatannya tersebut tidak bisa
dikategorikan sebagai kampanye.
"Memang sekarang itu ada celah yang bisa dimanfaatkan jadi meskipun itu adalah program dari Kemenkominfo," ujar Titi.
Menurut Titi sejumlah pihak berpendapat iklan tersebut merupakan kampanye terselubung menjadi masuk akal, terlepas dari definisi dan aturan yang berlaku. Sebab iklan tersebut muncul pada momentum menjelang Pemilihan Presiden.
Posisi Jokowi, ujar Titi, juga tidak bisa terlepas dari statusnya sebagai bakal capres petahana. Walaupun iklan tersebut menceritakan kinerja pemerintah, tetapi konteks dan momentum Pilpres 2019 melekat sangat erat di dalamnya.
"Kampanye terselubung kan sudah ada paslon secara normatif, tentu dia tidak bisa dijerat dengan pasal kampanye terselubung. Tapi beralasan kalau berbagai pihak menganggap hal itu punya tujuan atau kepentingan elektoral membangun citra positif menjelang Pilpres. Menjadi wajar kalau dihubungkan dengan kepentingan elektoral dari pak Jokowi," kata Titi.
Lebih lanjut, Titi berpendapat, iklan-iklan pemerintah yang membangun citra diri dari petahana alias Jokowi sebaiknya tidak terbit pada masa-masa menjelang Pemilu. Meskipun iklan tersebut merupakan bentuk laporan kepada masyarakat terkait keberhasilan pemerintah, hal itu harusnya dapat dihindari di masa-masa kritis seperti ini.
"Petahana itu kan sudah berkampanye lima tahun ya, melalui kerja-kerjanya program-programnya itu juga sudah bagian dari membangun citra," ujar Titi.
Titi juga berpendapat iklan ini tidak sesuai dengan Pasal 306 ayat 2 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menyebutkan Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan/desa, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dilarang melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan peserta pemilu, pelaksana kampanye, dan tim kampanye.
Walaupun secara definitif Jokowi belum ditentukan sebagai peserta pemilu, pemerintah, dalam hal ini Kemkominfo secara tidak langsung memberikan keuntungan kepada mantan walikota solo itu dengan menayangkan iklan keberhasilan pemerintah di bioskop. Titi menilai pemerintah seharusnya lebih cakap dalam mensosialisasikan keberhasilannya dan tidak memicu kontroversi.
"Kalau pun ya sebagai bentuk akuntabilitas pertanggungjawaban kepada publik atas capaian kinerja bisa dilakukan melalui mekanisme yang lebih akuntabel dan lebih tidak terlihat seperti mengkampanyekan," ujarnya.
"Karena bagaimana juga UU kita melarang pejabat negara membuat kebijakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu paslon tertentu meskipun belum ada paslon, hal-hal atau kebijakan yang mengarah pada citra diri dari paslon tertentu mesti dihindari," terang dia.
Belum Tentu Berpengaruh
Terlepas dari kontroversi, iklan pemerintah di bioskop dinilai memberikan keuntungan elektoral yang tidak terlalu berpengaruh. Pengamat Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Erwan Agus Purwanto menilai popularitas Jokowi tidak akan langsung terdongkrak dengan iklan keberhasilannya di bioskop.
Sosok Jokowi, kata Erwan, sudah cukup populer di masyarakat terlihat dari pemberitaannya yang masif selama ini. Masyarakat sudah cukup paham dengan sosok Jokowi dan kinerjanya selama ini sehingga iklan di bioskop tidak akan begitu efektif mendongkrak popularitasnya.
Kendati begitu iklan ini, dinilai Erwan cukup efektif untuk meningkatkan keyakinan para pemilih mengambang (swing voters). Namun, meyakini hal itu bakal menjadi kenyataan menyumbang suara saat pemilihan, menurut Erwan masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.
"Bisa jadi ada dampak elektoralnya jika disampaikan terus menerus akan ada dampak elektoralnya. Tapi kalau iklannya hanya di bioskop saja kecil ya, karena kan tidak semua orang menonton bioskop paling hanya jutaan, padahal bicara calon pemilihnya ratusan juta," ujar Erwan.
Peneliti Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengatakan iklan ini dapat meyakinkan sebagian swing voters yang menonton bioskop. Sebab menurut Siti, swing voters memiliki karakter yang cukup tidak stabil dalam hal politik.
"Dengan pemilih yang moody secara politik dan kontekstual dan momentum bisa saja dia terpengaruh. Tapi mereka lebih konkret dan akan melihat sejauh mana nalar mereka akan mengiyakan atau meniadakan," kata Siti.
Sementara itu Istana membantah penayangan iklan hasil kerja pemerintahan Presiden Jokowi di sejumlah bioskop bagian kampanye jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.
"Jelas bukan kampanye," kata Staf Khusus Presiden Adita Irawati.
Adita menyatakan penayangan iklan itu sesungguhnya merupakan bagian Kementerian Komunikasi dan Informatika bukan Istana.
Kemkominfo disebut memang bertugas menyampaikan program, hasil, dan rencana kerja pemerintah selama ini salah satunya pembangunan bendungan.
"Jadi, dari kacamata Istana, itu adalah komunikasi pembangunan yang memang perlu dilakukan pemerintah agar masyarakat mengetahui hasil-hasil pembangunan dan dapat memanfaatkannya untuk kehidupan sehari-hari," kata mantan Vice President Corporate Communication Telkomsel ini.
Ia pun santai menanggapi tudingan banyak pihak terkait iklan ini. Menurutnya, hal itu merupakan kebebasan berpendapat.
"Ya silakan saja berpendapat demikian yang paling penting sudah ada pengawas dari Bawaslu," tuturnya.
#dan|CNN(ayp)
Sejumlah tudingan dialamatkan kepada pemerintah dengan menyatakan iklan itu sebagai kampanye terselubung. Para politikus pun ikut angkat bicara. Ada yang menganggap lumrah, tak sedikit juga yang memprotes.
Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon pun meminta agar iklan tersebut dicopot. Anggota Badan Komunikasi Partai Gerindra Andre Rosiade menyatakan iklan itu merupakan bentuk kampanye terselubung. Sementara, Kepala Divisi Advokasi dan Bantuan Hukum DPP Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean menilai penayangan iklan pemerintah Jokowi di bioskop melanggar hak-hak konsumen.
Di sisi lain Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) menyatakan iklan itu bukan untuk kepentingan Pemilu atau Pilpres 2019. Namun, mereka mengakui iklan itu dibuat menyasar kaum milenial buat mensosialisasikan keberhasilan pemerintah.
|
"Capres sebagaimana diatur pada pasal 1 ayat 29 UU No 7 Tahun 2017 sebagai pasangan calon yang ditetapkan memenuhi persyaratkan kan belum ada, jadi aturan kampanye sebagaimana pasal 1 ayat 35 itu belum ada," kata Fritz Edward kepada CNNIndonesia.com, Rabu (12/9) kemarin.
Berdasarkan Pasal 1 ayat 35 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum kegiatan kampanye adalah kegiatan peserta pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta pemilu untuk meyakinkan Pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri Peserta Pemilu. Merujuk pada peraturan tersebut iklan keberhasilan pemerintah Jokowi di bioskop belum dikategorikan sebagai kampanye.
"Kami hanya melihat bahwa peserta pemilu itu belum ada," katanya.
|
"Memang sekarang itu ada celah yang bisa dimanfaatkan jadi meskipun itu adalah program dari Kemenkominfo," ujar Titi.
Menurut Titi sejumlah pihak berpendapat iklan tersebut merupakan kampanye terselubung menjadi masuk akal, terlepas dari definisi dan aturan yang berlaku. Sebab iklan tersebut muncul pada momentum menjelang Pemilihan Presiden.
Posisi Jokowi, ujar Titi, juga tidak bisa terlepas dari statusnya sebagai bakal capres petahana. Walaupun iklan tersebut menceritakan kinerja pemerintah, tetapi konteks dan momentum Pilpres 2019 melekat sangat erat di dalamnya.
"Kampanye terselubung kan sudah ada paslon secara normatif, tentu dia tidak bisa dijerat dengan pasal kampanye terselubung. Tapi beralasan kalau berbagai pihak menganggap hal itu punya tujuan atau kepentingan elektoral membangun citra positif menjelang Pilpres. Menjadi wajar kalau dihubungkan dengan kepentingan elektoral dari pak Jokowi," kata Titi.
Lebih lanjut, Titi berpendapat, iklan-iklan pemerintah yang membangun citra diri dari petahana alias Jokowi sebaiknya tidak terbit pada masa-masa menjelang Pemilu. Meskipun iklan tersebut merupakan bentuk laporan kepada masyarakat terkait keberhasilan pemerintah, hal itu harusnya dapat dihindari di masa-masa kritis seperti ini.
Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
|
"Petahana itu kan sudah berkampanye lima tahun ya, melalui kerja-kerjanya program-programnya itu juga sudah bagian dari membangun citra," ujar Titi.
Titi juga berpendapat iklan ini tidak sesuai dengan Pasal 306 ayat 2 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menyebutkan Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan/desa, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dilarang melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan peserta pemilu, pelaksana kampanye, dan tim kampanye.
Walaupun secara definitif Jokowi belum ditentukan sebagai peserta pemilu, pemerintah, dalam hal ini Kemkominfo secara tidak langsung memberikan keuntungan kepada mantan walikota solo itu dengan menayangkan iklan keberhasilan pemerintah di bioskop. Titi menilai pemerintah seharusnya lebih cakap dalam mensosialisasikan keberhasilannya dan tidak memicu kontroversi.
"Kalau pun ya sebagai bentuk akuntabilitas pertanggungjawaban kepada publik atas capaian kinerja bisa dilakukan melalui mekanisme yang lebih akuntabel dan lebih tidak terlihat seperti mengkampanyekan," ujarnya.
"Karena bagaimana juga UU kita melarang pejabat negara membuat kebijakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu paslon tertentu meskipun belum ada paslon, hal-hal atau kebijakan yang mengarah pada citra diri dari paslon tertentu mesti dihindari," terang dia.
|
Terlepas dari kontroversi, iklan pemerintah di bioskop dinilai memberikan keuntungan elektoral yang tidak terlalu berpengaruh. Pengamat Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Erwan Agus Purwanto menilai popularitas Jokowi tidak akan langsung terdongkrak dengan iklan keberhasilannya di bioskop.
Sosok Jokowi, kata Erwan, sudah cukup populer di masyarakat terlihat dari pemberitaannya yang masif selama ini. Masyarakat sudah cukup paham dengan sosok Jokowi dan kinerjanya selama ini sehingga iklan di bioskop tidak akan begitu efektif mendongkrak popularitasnya.
Kendati begitu iklan ini, dinilai Erwan cukup efektif untuk meningkatkan keyakinan para pemilih mengambang (swing voters). Namun, meyakini hal itu bakal menjadi kenyataan menyumbang suara saat pemilihan, menurut Erwan masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.
"Bisa jadi ada dampak elektoralnya jika disampaikan terus menerus akan ada dampak elektoralnya. Tapi kalau iklannya hanya di bioskop saja kecil ya, karena kan tidak semua orang menonton bioskop paling hanya jutaan, padahal bicara calon pemilihnya ratusan juta," ujar Erwan.
|
"Dengan pemilih yang moody secara politik dan kontekstual dan momentum bisa saja dia terpengaruh. Tapi mereka lebih konkret dan akan melihat sejauh mana nalar mereka akan mengiyakan atau meniadakan," kata Siti.
Sementara itu Istana membantah penayangan iklan hasil kerja pemerintahan Presiden Jokowi di sejumlah bioskop bagian kampanye jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.
"Jelas bukan kampanye," kata Staf Khusus Presiden Adita Irawati.
Adita menyatakan penayangan iklan itu sesungguhnya merupakan bagian Kementerian Komunikasi dan Informatika bukan Istana.
Kemkominfo disebut memang bertugas menyampaikan program, hasil, dan rencana kerja pemerintah selama ini salah satunya pembangunan bendungan.
"Jadi, dari kacamata Istana, itu adalah komunikasi pembangunan yang memang perlu dilakukan pemerintah agar masyarakat mengetahui hasil-hasil pembangunan dan dapat memanfaatkannya untuk kehidupan sehari-hari," kata mantan Vice President Corporate Communication Telkomsel ini.
Ia pun santai menanggapi tudingan banyak pihak terkait iklan ini. Menurutnya, hal itu merupakan kebebasan berpendapat.
"Ya silakan saja berpendapat demikian yang paling penting sudah ada pengawas dari Bawaslu," tuturnya.
#dan|CNN(ayp)