Penulis : Mega Turuy (Anggota Akademi Menulis Kreatif) |
Fokussumatera.com - Saat ini perilaku munafik terus tumbuh makin subur. Khususnya di kalangan rezim/penguasa, para pejabat negara dan para politisi. Faktanya, sebagian di antara mereka banyak yang biasa berdusta, khianat, ingkar janji, riya (doyan pencitraan), mencela orang-orang taat dan shalih, memperolok-olok al-Quran, as-Sunnah dan Rasulullah saw. bersumpah palsu, tidak peduli terhadap nasib kaum Muslim, suka menyebarkan kabar bohong (hoax), mencaci-maki kehormatan orang-orang shalih, membuat kerusakan di muka bumi dengan dalih mengadakan perbaikan, tidak ada kesesuaian antara lahiriah dan batiniah, menyuruh kemungkaran dan mencegah kemakrufan, sombong dalam berbicara, menantang Allah SWT dengan terus berbuat dosa dan sebagainya.
Sejak awal politik demokrasi adalah ‘politik transaksional’. Dalam ‘politik transaksional’, kepentingan tentu menjadi faktor utama. Karena itu tidak aneh banyak orang yang terjun ke arena demokrasi menjadi orang-orang munafik.
Setelah terpilih sebagai penguasa, misalnya, banyak di antara mereka terbukti ingkar janji. Mereka mengeluarkan banyak kebijakan yang merugikan rakyat. Misalnya dengan terus-menerus menaikkan harga BBM dan tarif listrik, membebani rakyat dengan ragam pajak, menjual sumberdaya alam milik rakyat, dan lain-lain. Padahal sebelum berkuasa, khususnya pada masa-masa kampanye Pemilu, mereka berjanji mensejahterakan rakyat. Sebelumnya mereka pun mencitrakan diri sebagai pembela wong cilik dan mencintai rakyat. Tapi nyatanya semua adalah dusta, kebohongan yang sangat besar dilakukan oleh penguasa.
Selain ingkar janji, mereka juga sering mengkhianti amanah. Di antara bentuk pengkhianatan terhadap amanah adalah korupsi. Terkait tindak korupsi, dalam survei yang digelar Global Corruption Barometer (GBC) sejak pertengahan 2015 hingga awal 2017, diperoleh hasil bahwa 54% responden menilai DPR sebagai lembagai paling korup. Disusul oleh lembaga birokrasi 50%, DPRD 47% dan Dirjen Pajak 45% (Cnnindonesia.com, 7/3/17).
Adapun dalam konteks Asia-Pasifik, hasil dari GCB 2017 memberikan gambaran, “Sebanyak 39% publik menganggap polisi adalah lembaga paling korup. Disusul legislatif/DPR (37%), legislatif daerah (35%), birokrasi (35%) dan kementerian (31%).” (Republika.co.id, 07/03/17).
Padahal sudah sangat jelas, korupsi telah diharamkan dalam Islam sebagai tindakan menipu rakyat dan menyalahgunakan amanah. Rasul saw. bersabda:
مَنِ اسْتُرْعِيَ رَعِيَّةً فَمَاتَ وَهُوَ لَهَا غَاشٌّ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
Siapa saja yang diminta mengurus rakyat, lalu dia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, Allah mengharamkan surga bagi dirinya (HR Abu Dawud).
Alhasil, saatnya kita megghentikan segala kemunafikan. Namun, tentu selama negeri ini tetap menerapkan sekularisme dengan demokrasi sebagai salah satu pilarnya, perilaku munafik, khususnya di kalangan penguasa/para pejabat dan wakil rakyat, tidak akan pernah berkurang, apalagi hilang. Persoalan ini hanya mungkin diatasi saat bangsa ini menerapkan syariah Islam sebagai sistem terbaik, sebagaimana firman-Nya:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik dari pada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).
Sebagai sistem terbaik, syariah Islam tentu wajib diterapkan secara kaffah dalam sistem pemerintahan terbaik. Itulah Khilafah ala minhaj an-nubuwwah.
Hanya sistem islam lah yang mampu mengatasi segala problematika ummat diseluruh penjuru bumi.
No comments:
Post a Comment