Oleh: Hany Handayani Primantara, S.P. (Ibu Peduli Generasi)
Fokussumatera.com - Setiap manusia pasti pernah mengalami rasa jenuh, seakan hampa walau semua yang diharap manusia pada umumnya telah dipunya. Istri, anak, harta, kemapanan, jabatan, ketenaran, kendaraan, rumah mewah bahkan pulau.
Hanya saja nyatanya itu semua tak membuatnya puas. Justru sebaliknya, makin bernafsu akan segalanya. Tak pernah menemui titik, dimana dia harus berhenti. Begitulah sejatinya jika berarus pada dunia. Bagaikan minum air laut, semakin diminum justru makin haus. Jenuhnya pun tak pernah hilang.
Rasa jenuh ini beda. Berbeda dari kejenuhan yang dialami biasanya. Bukan rasa jenuh yang mampu diobati dengan plesiran ke alam bebas. Tak mampu juga diobati hanya dengan sekedar berkunjung ke taman hiburan. Apatah lagi ke mall dengan beragam tontonan yang memanjakan mata.
Jenuh ini seakan menuntutnya lebih daripada sebuah hiburan sesaat. Yakni menuntun kepada sebuah proses hijrah, yakni kondisi pencarian jati diri. Pencarian yang selama ini tak pernah terpikir sebelumnya. Lantaran masih asyik dengan dunianya. Dunia yang bisa membuat banyak orang merasa bahagia sementara.
Beragam pertanyaan pun muncul dalam benak, mulai dari mempertanyakan keberadaan dirinya di dunia. Apakah benar bahwa ia hadir lantaran adanya pertemuan sel sperma dan sel telur, sebagaimana yang dijelaskan di sekolah dulu? Banyak pasangan lain yang memiliki kemampuan yang sama, namun saat ini belum juga berketurunan.
Begitu pula dengan alam raya ini, benarkah semua tercipta hanya kebetulan belaka? Sebab tumbukan planet dan meledaknya bintang yang mampu hasilkan langit, laut, tanah, gunung, sungai dengan begitu apik dan tertata rapih. Mustahil rasanya jika hal yang demikian disebut sebagai faktor kebetulan belaka.
Begitu pula dengan nalar, untuk apa ia berada di sini? Sekedar menghasilkan materi berupa kesenangan pribadikah? Atau sebatas meneruskan hidup hingga memiliki jodoh serta keturunan yang mampu dibanggakan sesama manusia? Hingga tutup usia kelak.
Naif rasanya jika hidup ini dimaknai hanya untuk makan dan melanjutkan keturunan saja, apa beda manusia dengan hewan jika begitu. Bukankah itu merupakan sifat alamiah hewan, ia akan makan dan melestarikan keturunan agar tak punah ditelan zaman. Zaman yang semakin hari semakin tua, semakin jauh dari keadaan sebelumnya dengan beragam inovasi yang ada.
Faktanya usia manusia punya batas. Kematian adalah suatu fase dimana manusia sudah tak bisa lanjutkan hidup. Lantas, akan kemana setelah kehidupan dunia ini? Adakah tempat lain yang kelak disinggahi? Atau hanya berakhir di liang kubur tanpa ada kelanjutan lagi.
Bagi orang yang berfikir, pertanyaan-pertanyaan tadi bukanlah sekedar kerisauan hati. Melainkan sebuah pertanyaan besar yang mampu mengubah hidup ini. Karena cara pandangnya terhadap kehidupan akan dimulai dari jawaban apa yang mampu ia lontarkan, saat pertanyaan tersebut berkelebat dalam diri.
Jadi, jika banyak orang yang berniat hijrah itu bertanya dan bingung hendak mulai darimana aku berhijrah secara Kaffah? Maka jawabnya mulailah mempertanyakan keberadaan dirinya di dunia ini, untuk apa berada di sini, dan akan kemana setelah kehidupan ini. Berkontemplasi atas tiga pertanyaan tersebut secara mendalam, maka akan ia temukan sebuah kebangkitan berfikir.
Kebangkitan yang mampu mengubah hidupnya menjadi sebuah proses hijrah kaffah. Hijrah secara keseluruhan, sebagaimana perintah Allah subhanahu wata'ala dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 208. Yakni menuju ridha Illahi, sesuai hati nurani, memuaskan akalnya hingga tentramlah jiwanya dalam menapaki kehidupan yang fana ini.
.
Wallahu a’lam Bishowab.