Oleh: Ummu Jihad
(Pemerhati Politik)
Fokussumatera.com - Korupsi merupakan kasus tindak kriminal yang fenomenanya kian hari merebak bak jamur di musim penghujan. Tak pandang status sosial, semua lini terkena imbasnya. Mulai dari kelas teri di institusi sekaliber kelurahan hingga para pejabat pengabdi rakyat di gedung-gedung pemerintahan.
Semenjak dibentuknya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) satu per satu tikus-tikus kantor terjerat dalam operasi tangkap tangan (OTT). KPK memang sebuah lembaga pemberantas korupsi yang sangat diharapkan masyarakat, mampu memberantas berbagai kasus korupsi di Indonesia. Sejauh ini nampak efektif dalam perjalanannya, buktinya banyak para pejabat yang akhirnya terciduk dan masuk bui.
Walau memang keberadaannya sebagai sebuah lembaga independen mampu menangkap tikus-tikus kantor, mereka pun tak menampik bahwa hukuman bagi para koruptor sepertinya tidak menimbulkan efek jera. Dampaknya tak jarang para napi koruptor ini jadi langganan sel penjara karena kasus yang sama. Memang dari sisi ini, KPK butuh adanya revisi undang-undang agar menyempurnakan tugas serta wewenang KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi.
Namun nampaknya revisi undang-undang Nomor 30 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang disahkan pembahasannya dalam rapat paripurna Kamis (5/9/2019) kemarin tak sesuai dengan harapan banyak orang. Menurut Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Donal Fariz, justru revisi UU KPK yang dibahas secara senyap merupakan upaya sistematis untuk melemahkan KPK.
Setidaknya ada 20 pasal dalam revisi UU KPK yang dianggap bermasalah. Pasal-pasal itu merupakan pasal yang mengatur penyadapan hingga pembentukan dewan pengawas KPK beserta hak dan kewenangannya. Donal menduga, revisi UU KPK ini sengaja digulirkan untuk mempermudah aktivitas korupsi yang diawali dengan melumpuhkan KPK. Dikutip dari kompas.com.
Lantas apakah dengan mengamputasi KPK seperti ini, adalah cara ampuh dalam mencegah korupsi? Indonesia Corruption Watch (ICW) yang dirilis pada Minggu (28/4/2019), menyebutkan kerugian negara akibat korupsi pada 2018 mencapai Rp 9,29 triliun. Hal ini terjadi bukan sebab para pejabat kurang dalam hal gaji dan tunjangan hidup tak layak. Melainkan faktor sistem yang meliputinya. Sistem sekuler menuntut politik yang berbiaya tinggi, mendorong para pejabat berkoalisi dengan pengusaha agar mampu menang pemilu dan meraih posisi tinggi.
Ditambah lagi faktor penegakan hukum yang lemah. Sebagaimana yang telah dikemukakan tadi bahwa kerja KPK akan lebih optimal, jika dari sisi hukum pun memberikan sangsi berat bagi para pelaku korupsi. Membuat efek jera bagi pelaku serta mencegah masyarakat terutama pejabat negara agar tak lakukan hal serupa. Hukum yang ada masih bersifat tebang pilih, alhasil banyak kasus korupsi kelas kakap menguap begitu saja usai diselidiki, tenggelam dengan peristiwa lainnya.
Sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Surya Paloh bahwa Indonesia menjadi negara kapitalis liberal. Terbukti bahwa sistem kapitalis liberal justru memberikan ruang nyaman bagi mereka para koruptor beraksi. Sebab hanya dalam sistem kapitalis liberal yang berbiaya tinggi, mendesak para politikus masuk dalam jerat politik transaksional. Hal ini pun akhirnya berimbas pada kasus korupsi sebagai solusi cepat dari usaha balik modal usai pesta demokrasi.
Dari pemaparan diatas nampak bahwa jangankan ampuh cegah korupsi, amputasi KPK melalui revisi UU ini justru menyuburkan korupsi hingga menggurita dan menjadi prestasi tertinggi. Sebab permasalahan utamanya bukanlah sekedar revisi UU KPK, yang telah melenceng dari tujuan awal dibentuknya komisi pemberantasan korupsi. Melainkan merubah sistem yang menaunginya, sistem kapitalis liberal yang jadi sumber penyebab lahirnya mental koruptor.
Sebagai warga negara yang peduli terhadap bangsanya, jadilah masyarakat kritis terhadap kebijakan yang digulirkan. Jangan gampang percaya terhadap buai manis janji revisi, yang hanya hasilkan kerugian dikemudian hari. Mengapa tak melirik sistem pemberian Illahi, yang sudah terjamin akan berikan kemashlahatan bagi seluruh umat di dunia ini. Baik yang muslim maupun yang nonmuslim mampu hidup damai dalam naungan sistem Islami. Sebagaimana firman-Nya: “Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia” (QS. Al Anbiya: 107).
.
Wallahu a’lam Bishowab
No comments:
Post a Comment