Oleh : Hawilawati, S.Pd
(Praktisi Pendidikan, Member WCWH & Revowriter Tangerang)
Fokussumatera.com - Menko PMK Muhadjir Effendy mendorong kepemilikan sertifikat menikah bagi calon pengantin. Sertifikat tersebut bisa didapat setelah keduanya mengikuti program pembelajaran pranikah.
"Maksud saya sertifikat itu harus dipastikan bahwa setiap calon pasangan pengantin muda, dia memang sudah dibekali pengetahuan dan pemahaman yang sangat cukup tentang itu sebelum dia menikah. Temasuk ini untuk menekan angka perceraian segala itu lho," kata Muhadjir (detik.com 14/11/19)
Sekretaris PCNU Rembang, Muhtar Nur Halim berpendapat, apabila nantinya sertifikasi nikah digunakan sebagai syarat sah administrasi pernikahan, dirinya tidak setuju dan itu berbahaya. Sertifikasi nikah, kata dia, tidak termasuk syarat sah nikah dalam Islam.
Terkait
Jika tujuan pelatihan pra-nikah yang rencananya selama tiga bulan bertujuan untuk memberi pemahaman tentang pernikahan terhadap calon pengantin, menurutnya itu sudah ada dan dilakukan oleh lembaga pendidikan.
Ya untuk menyelesaikan salah satu keanehan pemerintah tentang hal ini, tambah saja kurikulum tentang bab nikah di lembaga-lembaga pendidikan," ungkap Muhtar.
Muhtar menyampaikan, adanya sertifikasi nikah nantinya malah membuat ribet calon pengantin yang akan menikah. Selain itu, kata dia, wacana ini mengingatkan adanya sertifikasi dalam banyak hal di Indonesia seperti sertifikat halal yang diperebutkan antara MUI dengan Kementerian Agama yang ujung-ujungnya adalah proyek dan hal tersebut yang tak diharapkan.(Liputan6.com 20/11/19)
Wajar jika peraturan yang ditetapkan pemerintah terhadap perkara pernikahan 2020 menuai kontroversi, sekilas ketetapan itu baik tuk kelanggengan pernikahan, namun muncul berbagai pertanyaan, seberapa besar urgensi sertifikat tersebut? Apa yang melatarbelakangi adanya ketetapan tersebut? Apakah sertifikasi tersebut dapat menjamin sebagai penangkal perceraian? apakah cukup hanya 3 bulan melakukan edukasi pra nikah calon mempelai kelak matang menjalankan bahtera rumah tangga harmonis? Bagaimana jika calon mempelai belum memenuhi standar sertifikasi yang dimaksud, sementara secara batin ia sudah siap menikah, apakah tidak diperkenankan menikah ?
Pernikahan adalah salah satu ibadah suci yang tidak boleh dilakukan dengan main-main ataupun dengan paksaan dan siap dengan konsekuensi.
Tidak boleh main-main karena setelah terjadi ijab dan qobul maka akan ada berbagai aktivitas yang dilakukan dengan serius oleh suami istri yang sah dihadapan Allah SWT, yang sebelum pernikahan belum pernah dilakukan oleh pasangan tersebut.
Pernikahan harus dilakukan dengan penuh keridho'an, tidak boleh ada paksaan, karena aktivitas rumah tangga tak hanya sekedar menjalankan kewajiban dan mendapatkan segala hak. Namun lebih dari itu yaitu saling ridho menjalankan, menerima kekurangan pasangan, nasihat menasihati, memperbaiki, melengkapi satu dengan lainnya dalam membangun rumah tangga sesuai tuntunan syariat Allah.
Adapun tujuan utama pernikahan dalam Islam adalah untuk menyempurnakan agamanya dan melestarikan keturunan.
Rasullullah Shallallaahu'alaihi wa sallam bersabda: _"Apabila seorang hamba menikah maka telah sempurna separuh agamanya, maka takutlah kepada Allah SWT untuk separuh sisanya" (HR. Al Baihaqi dalam Syu'abul Iman)._
Sehingga dua insan yang menyatakan dirinya menikah-pun siap dengan segala konsekuensinya, siap menjadi suami istri dengan pasangannya, siap memiliki keturunan hingga status ayah atau ibu disandang baginya. Siap memantaskan diri menjadi orangtua yang mampu mengasuh, mendidik, menjaga keturunannya menjadi pribadi yang sholih dan harus siap juga menjadi menantu yang baik bagi orangtua suaminya atau istrinya.
Dalam pernikahan berbagai ilmu akan diterapkan, tidak hanya sekedar memenuhi kebutuhan biologis saja. Melainkan ilmu mendidik anak (parenting), ilmu kerumahtanggaan, ilmu mengatur keuangan, ilmu emosional, ilmu kesehatan baik fisik maupun reproduksi, segala ilmu yang berkaitan dengan periayahan keluarga harus diamalkan. Dalam pernikahanpun akan ada banyak hal yang akan dihadapi (seperti nasab, mahrom, waris, wali, bahkan persusuan). Ilmu itu semua terangkum dalam kitab pergaulan Islam bab nikah, salah satunya terdapat dalam Kitab Nidzomul ijtima'i karya syeikh Taqiyuddin An-Nabahani.
Kitab tersebut memberikan pemahaman pengaturan interaksi dengan lawan jenis baik statusnya belum menikah ataupun sudah. sebagai bentuk penjagaan keiiffahan (kesucian) dan kehormatan manusia.
Dalam proses pembelajarannya harus dilakukan dengan talqiyan fikriyyan dan istimror (terus menerus) tidaklah instan 1 sampai 3 bulan saja.
Secara individu, ilmu diatas yang harus dibekali bagi setiap insan dewasa untuk melayakkan diri agar kelak siap menjalankan ibadah suci pernikahan dengan segala konsekuensinya.
Penguasa adalah Ro'in (pelayan) umat, dan mas'ul (penanggungjawab). Ia akan mempermudah segala urusan rakyatnya, tak terkecuali memberikan kemudahan bagi siapa saja yang siap menikah, bahkan negara akan membiayai rakyatnya yang siap secara fisik dan mental namun secara financial belum mampu.
Hubungan rakyat dengan negara bagaikan ayah dengan anak-anaknya, ia akan meriayah (mengurusi) segala kebutuhannya dengan pemahaman yang mumpuni, tidak memperhitungkan untung rugi. Apalagi jika segala yang dilakukan ada motif tertentu yang memunculkan kemudhorotan, apalagi memperumit urusan.
Jika negara memang serius mengurusi rakyatnya, dalam hal ini adalah urusan pernikahan, maka negara akan memperhitungkan segalanya dengan matang dan analisa yang mendalam dalam membuat sebuah kebijakan.
Sangat bahaya jika ini hanya trial and error, akan berdampak muncul masalah baru, tentu akan menghabiskan biaya yang besar. Belum akan berpeluang muncul oknum dalam lemahnya kebijakan, misal jasa pembuatan sertifikat bodong pra nikah karena merasa tidak perlu mengikuti rangkaian seremonial sertifikasi, jika kedua mempelai saling siap menikah dan sertifikat hanya sebagai formalitas saja. lagi-lagi masalah yang tidak urgensi hanya menjadi proyek mendulang uang para oknum. Sungguh ironis
Negarapun wajib memberikan edukasi secara intensif bukan sesekali saja atau sekedarnya saja. serius membekali diri rakyatnya tentang bab pernikahan yang harus menjadi bagian Konten kurikulum pendidikan.
Semua dilakukan agar tercipta
Keharmonisan rumah tangga yang menuai keberkahan dan keridhoan Allah hingga membawa keselamatan hidup rakyatnya. Negara harus mengatur urusan pernikahan dengan standar syariat Islam bukan sekulerisme atau liberalisme, yang segalanya hanya dilihat dari sisi untung rugi materi bukan maslahat atau mudhorot serta keberkahan.
Jika penguasa menetapkan kebijakan hingga mempersulit rakyatnya maka Baginda Rosulullah SAW sangat mengecamnya bahwa itu tindakan dzolim bahkan beliau berdoa,
“Ya Allah, barangsiapa yang diberi tanggung jawab untuk menangani urusan umatku, lalu ia mempersulit mereka, maka persulitlah hidupnya. Dan barangsiapa yang diberi tanggung jawab untuk mengurusi umatku, lalu ia memudahkan urusan mereka, maka mudahkanlah hidupnya.” (HR Muslim).
Wallahu'alam bishowwab
No comments:
Post a Comment