Oleh: Bunda Jihad
(Pemerhati Politik)
Fokussumatera.com-Enam bulan sudah berlalu sejak wabah menyerang Indonesia. Selama itu pula pemerintah memberikan kebijakan PSBB di setiap wilayah guna mengantisipasi penyebaran virus covid-19. Apa yang terjadi di luar negeri jauh hari sebelum status pandemi dikeluarkan oleh WHO harusnya menjadi sebuah pelajaran bagi negeri kita, bahwa tak boleh remeh masalah penanganan wabah.
Alhasil seperti inilah jadinya ketika kebijakan dibuat setengah hati. Rakyat dibuat bingung dengan kebijakan yang bikin keki. Bagaimana tidak? Dengan keputusan pembatasan sosial berskala besar maka akan berdampak pada seluruh aktivitas. Tak terkecuali para pedagang yang merupakan titik nadi kehidupan perekonomian.
Siapa yang tak takut jika terkena virus covid-19. Dengan tersebarnya informasi mengenai data korban yang kian bertambah seiring dengan waktu. Membuat banyak orang semakin waspada dan gelisah dalam menghadapi virus covid-19 ini. Tak ayal berdiam diri di rumah adalah salah satu usaha agar terhindar dari sebab penyakit.
Keputusan ini bukan tanpa resiko. Kenapa? Bagaimana rakyat mampu memenuhi kehidupannya jika ia hanya berdiam diri di rumah. Mungkin bagi sebagian orang yang merupakan pekerja kantoran bisa tetap gajian walau tetap di rumah. Mereka bisa tetap bekerja melalui alat-alat digital yang serba dipermudah.
Berbeda jauh dengan para pedagang kecil yang aktivitasnya harus dilakukan di sebuah tempat yang bernama pasar. Mereka bisa penuhi kebutuhan rumah tangganya ketika ada pembeli. Yakni dengan terjun langsung ke lapangan layaknya prajurit yang menantang ke medan perang.
Akhirnya untuk mengatasi perekonomian yang semakin terpuruk pemerintah menetapkan kebijakan New normal. Berharap dengan diputuskan kondisi New normal masyarakat bisa kembali beraktivitas di luar rumah terutama perekonomian agar berjalan seperti sedia kala di tengah wabah yang belum ada jaminan aman untuk berkerumun. Namun nyata ini juga kontroversial. Tak ada jaminan di luar sana sudah aman untuk beraktivitas membuat masyarakat pun ragu akan kebijakan ini.
Begitu pun dengan dunia pendidikan. Para wali murid tak kalah bimbang kala kebijakan sang menteri terbaru yang menetapkan bahwa tanggal 13 Juli serentak semua tingkatan sekolah dari TK/PAUD, SD, SMP, hingga SMA mulai masuk sekolah tahun ajaran baru. (Dilansir dari Tribunnews. Com). Padahal sebelumnya menetapkan kondisi belum cukup aman dan memperpanjang sekolah di rumah hingga akhir tahun.
Bagaimana mungkin para wali murid bisa melepas anaknya dengan rasa aman jika kondisinya di luar sana belum cukup stabil untuk pelaksanaan kegiatan yang otomatis akan menimbulkan kerumununan masa seperti sekolah. Bukankah justru akan menambah masalah menjadi lebih pelik dengan mengorbankan anak-anak nantinya jika wabah belum mereda.
Seperti yang terjadi di luar negeri beberapa waktu lalu. Pada 11 Mei 2020 sekolah dan penitipan anak di Prancis kembali buka, dalam hal itu sekitar 1,4 juta anak kembali ke sekolah. Namun sejak sekolah dibuka kembali, setidaknya ada 70 kasus Covid-19 yang dilaporkan yang terdeteksi di sekolah-sekolah. Kasus tersebut terjadi di kalangan penitipan anak dan sekolah dasar di Prancis, seperti dilansir dari Dailymail. Akhirnya Menteri Pendidikan Prancis Jean-Michel Blanquer mengatakan semua lembaga yang terkena dampak telah ditutup.
Pemerintah seakan bingung mengatasi masalah wabah lantaran tak memiliki pedoman yang jelas dalam menentukan kebijakan. Seperti buah simalakama, ke kanan salah ke kiri pun salah. Akhirnya rakyat kecil lagi yang menjadi korban atas penerapan sebuah kebijakan yang dinilai salah.
Belum cukup buktikah bahwa memang ada salah urus dengan negeri ini? Harus mengorbankan berapa banyak nyawa lagi agar semua pihak bisa tersadarkan dengan penerapan sistem yang salah. Begitu banyak bukti di tengah-tengah kita yang mengarah pada rusaknya kebijakan atas pedoman yang ada namun kita masih saja belum merasa jengah dengan semuanya.
Wallahu'alam bishowab.
No comments:
Post a Comment