Breaking News

Wednesday, October 09, 2024

Literasi Digital Menjadi Penting di Era Kampanye Melalui Medsos

Kordiv Hukum, Pencegahan, Parmas dan Humas Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Solok Selatan Haikal didampingi Rahmadani, saat menjawab wartawan terkait Kampanye di Medsos. Foto Afrizal

FS.Solok Selatan(Sumbar) - Pergeseran Kampanye pada musim Pemilu Serentak tahun 2024, dengan memanfaatkan media sosial (Medsos) menuntut semua pihak untuk dapat menciptakan interaksi berkomunikasi dan memanfaatkan media sosial yang lebih sehat, cerdas dan terbebas dari penyebaran informasi ujar kebencian dan hoaks.

Langkah-langkah ini pula yang menjadi penting dijaga, agar Pilkada serentak 2024 tidak berubah menjadi ajang penyebaran kebencian yang merusak hubungan sosial, " harap Haikal (Divisi Hukum, Pencegahan, Parmas dan Humas Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Solok Selatan.

" Sudah saatnya semua pihak meningkatkan literasi digital, sehingga interaksi di Medsos dalam berkampanye akan dapat berjalan baik, dan damai," harapnya.

Artinya pada era informasi seperti saat ini, kemampuan untuk memilah mana informasi yang valid dan mana yang salah adalah keterampilan yang harus dikuasai dan diasah,. Makanya perlu penguasaan dan peningkatan literasi digital” tambahnya.

Selain itu, Haikal juga berharap peran serta berbagai elemen masyarakat  dalam menghadapi era kampanye di Medsos saat ini untuk terlibat lansung memantau dan mengawasi komunikasi kampanye di Medsos.

" Saat ini , di zaman digital telah membuat arus informasi mengalir begitu deras, di mana batasan antara fakta dan fiksi kerap kali menjadi kabur.

Bahkan dari data Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Monash University dalam pengamatan mereka selama pileg 2024 ada 1,5 juta teks berbicara di Medsos tentang pemilu, dan sekitar 200 teks tersebut bernuansa ujaran kebencian.

Adapun yang paling banyak menyajikan ujaran kebencian diantaranya di Facebook 56,8 persen, Twitter yang sekarang dikenal dengan X 36,3 persen dan di Instagram 6,6 persen serta artikel lainnya sebanyak 0,22 persen.

“Dari data yg disajikan oleh AJI tersebut dapat disimpulkan bahwa ujaran kebencian dan segala turunannya itu lebih banyak di percakapan antara pengguna medsos dibandingkan artikel,” tegasnya.

Media sosial saat ini cenderung memperkuat bias pengguna, menciptakan ruang di mana orang-orang hanya mendengar informasi yang sesuai dengan pandangan mereka sendiri.

Akibatnya, terjadi fragmentasi sosial yang makin nyata perbedaan pandangan politik tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang wajar, melainkan dipandang sebagai ancaman yang membahayakan.

Dengan pola algoritma sperti itu, para pengguna medsos hanya mendapat asupan informasi sepihak dan bahkan sampai mereka anggap ini adalah kebenaran yang mutlak.

Maka dari itu Pilkada 2024 ini seharusnya bisa menjadi momen untuk mendesain ulang pola interaksi politik di media sosial, sehingga harapan untuk menjadikan medsos sebagai sarana untuk berkampanye akan dapat berjalan sebagaimana mestinya.

“Melalui pendekatan yang lebih damai dan produktif, media sosial dapat dimanfaatkan sebagai instrumen untuk membangun kesadaran politik yang sehat, mendukung dialog yang konstruktif dan menjadi wahana pendidikan politik yang lebih inklusif,” tambahnya

Menurutnya, Pemerintah, lembaga pendidikan, hingga organisasi masyarakat sipil, memiliki peran besar dalam mendidik masyarakat untuk menjadi pengguna media sosial yang cerdas.

Konten-konten literasi digital harus diperluas dan ditingkatkan dengan fokus pada cara mengenali hoaks, memverifikasi informasi, serta memahami dinamika politik di media sosial.

“Meskipun kebebasan berpendapat adalah hak yang harus dijaga, namun ada batasan ketika kebebasan ini mulai menabrak kepentingan bersama,” katanya

Pemerintah dan platform media sosial katanya, harus berkolaborasi untuk memantau dan mengambil tindakan tegas terhadap akun-akun yang terlibat dalam penyebaran hoaks dan ujaran kebencian.

Di media sosial, kelompok masyarakat bisa menjadi jembatan antara berbagai pihak yang berbeda pandangan, dengan menawarkan ruang diskusi yang lebih terarah dan berbasis data.

Hal ini akan membantu masyarakat untuk lebih fokus pada isu-isu substansial daripada sekadar terjebak dalam pertarungan politik yang sifatnya destruktif.

“Kami sudah membuka posko aduan baik di Bawaslu maupun di Kecamatan dan berharap organisasi masyarakat dan kepemudaan di Solok Selatan untuk lebih berperan dalam menyeimbangkan ide dan gagasan pemilu damai khususnya kampanye di media sosial,” katanya.

Dia mengatakan, tahapan kampanye sudah 12 hari berjalan untuk Pemilihan Serentak Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Barat dan pemilihan Bupati dan wakil bupati Solok Selatan tahun 2024 ini.

Kampanye sebagai sarana penyampaian ide guna meyakinkan pemilih sudah berevolusi bukan hanya di ranah fisik dengan pertemuan tatap muka, tetapi lebih dari itu, pertempuran ide dan gagasan juga akan banyak terjadi di dunia maya, khususnya di media sosial.

Sementara itu, Kepala Dinas Informatika dan Komunikasi Solok Selatan Firdaus Firman mengatakan, fenomena hoax pasti akan berkembang apalagi saat Pemilihan serentak.

“Hoax merusak pikiran masyarakat terutama saat pilkada sehingga Bawaslu perlu menyediakan sarana yang mudah untuk di akses masyarakat,” ujarnya.

Dia mengatakan, 95 persen anak muda Indonesia menggunakan internet dan hampir 90 persennya digunakan untuk mengakses media sosial.

Survei dailysocial tahun 2018 menyebutkan 44 hoax tidak dapat di akses masyarakat.

Penelitian masyarakat telekomunikasi Indonesia 2017 media paling banyak menyebar hoax adalah medsos dengan 92,40 persen," jelasnya. (Af)

No comments:

Post a Comment

About Me


Bofet%2BHP
BOFET HARAPAN PERI JL. SAMUDRA No 1 KOMP. PUJASERA PANTAI PADANG
SELAMAT DATANG DI SEMOGA BERMANFAAT!