Oleh : Arief Rahmad Yuliardi (Mahasiswa Unand) |
Fokussumatera.com - Di era digitalisasi, banyak sekali perkembangan teknologi yang semakin memudahkan para penggunanya, kemajuan ini menjadi sinyal positif yang sangat menguntungkan bagi siapa saja yang dapat memanfaatkannya. Terutama oleh para pemilik produk yang dapat mempromosikan produknya yang dapat diakses dengan cepat oleh masyarakat. Hal ini tentu menjadi hal yang positif dan membuat perkembangan bisnis menjadi lebih cepat dan efisien, khususnya di bidang skincare. Perkembangan zaman yang serba modern ini tentunya membuat para pemilik bisnis skincare dapat menyerap banyak ilmu atau melihat seberapa besar peluang pasar atau permintaan masyarakat akan skincare sehari-hari.
Namun, profesionalisme seorang pemilik produk perawatan kulit juga penting seiring berjalannya waktu, tentunya pemilik produk perawatan kulit yang profesional harus memiliki syarat-syarat tertentu agar tidak merugikan masyarakat. Syarat tersebut antara lain transparansi bagian-bagian yang terkandung dalam skincare, kemasan yang steril, pembuatan yang higienis, dan mengutamakan fungsionalitas daripada sekedar perusahaan itu sendiri. Hal ini menjadi topik yang menarik karena banyak tantangan yang harus dilalui oleh seorang pemilik produk perawatan kulit untuk menjadi profesional dalam menggunakan teknologi.
Mengingat tingginya minat masyarakat terhadap perawatan kulit, yang meningkatkan permintaan akan produk, sangat menarik untuk membicarakan tentang perusahaan perawatan kulit viral yang telah dibahas di media tentang produk mereka. Bisnis lain mungkin melihat hal ini sebagai peluang bisnis yang sangat cerdas yang juga dapat meningkatkan pendapatan.
Akibatnya, profesionalisme perusahaan akan dipertanyakan jika mereka benar-benar mengikuti standar setelah produk mereka menjadi populer di media sosial, atau jika mereka melanggar kode etik yang berlaku. Salah satu pelanggaran kode etik profesi, khususnya iklan yang menyesatkan, adalah masalah melebih-lebihkan produk perawatan kulit yang baru-baru ini menjadi viral.
Ketidakprofesionalan sebuah perusahaan dalam menciptakan sebuah produk yang mengungkapkan sebagian dari kandungannya namun pada kenyataannya melanggar hukum dengan membuat representasi berlebihan yang tidak sesuai dengan apa yang mereka iklankan atau lampirkan pada komposisi produk sangat berisiko bagi pengguna dan perusahaan.
Jika tindakan ini terus berlanjut, maka produk dan pelaku usaha dapat menghadapi konsekuensi yang pahit. Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 yang berbunyi,
Jika tindakan ini terus berlanjut, maka produk dan pelaku usaha dapat menghadapi konsekuensi yang pahit. Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 yang berbunyi,
“Sanksi Pidana bagi pelaku usaha yang melanggar ketentuan tersebut adalah pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp2 miliar”. Artinya, jika produsen terbukti memberikan informasi yang menyesatkan atau melebih-lebihkan informasi mengenai produknya, maka produsen dapat dikenakan denda hingga Rp 2 miliar atau penjara maksimal 5 tahun.
Selain itu, pelanggaran semacam itu dapat menyebabkan konsumen mengajukan tuntutan terhadap perusahaan. Konsumen yang merasa dirugikan dapat melakukan gugatan perdata terhadap perusahaan produk yang dapat menimbulkan kerugian besar, tidak hanya dalam bentuk denda tetapi juga kepercayaan konsumen. Perusahaan yang terbukti melanggar peraturan dapat menyebabkan produknya diambil dan ditarik dari pasar oleh pihak berwenang seperti BPOM, yang selanjutnya dapat merusak reputasi perusahaan.
Selain undang-undang perlindungan konsumen, pelanggaran terkait iklan yang menyesatkan dan overclaim juga dapat masuk dalam yurisdiksi UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pasal 28 yang berbunyi
1. “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.”
2. “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”
Selain undang-undang perlindungan konsumen, pelanggaran terkait iklan yang menyesatkan dan overclaim juga dapat masuk dalam yurisdiksi UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pasal 28 yang berbunyi
1. “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.”
2. “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”
Pasal 28 UU ITE melarang penyebaran informasi yang tidak benar dan menyesatkan yang dapat merugikan konsumen. Pelaku usaha yang terbukti bersalah berdasarkan UU ini dapat menghadapi hukuman pidana penjara hingga 6 tahun dan/atau denda hingga Rp 1 Miliar. UU ini menekankan tanggung jawab pelaku usaha untuk memastikan bahwa pemasaran dan periklanan mereka, terutama yang didistribusikan melalui platform digital akurat dan sesuai dengan produk itu sendiri.
Iklan yang menyesatkan dalam produk perawatan kulit yang terlalu banyak mengklaim dapat memberikan dampak yang signifikan dan merugikan bagi konsumen. Konsumen yang terpapar dengan klaim yang menyesatkan sering kali merasa tertipu karena produk yang mereka beli tidak memberikan hasil seperti yang dijanjikan dalam iklan.
Iklan yang menyesatkan dalam produk perawatan kulit yang terlalu banyak mengklaim dapat memberikan dampak yang signifikan dan merugikan bagi konsumen. Konsumen yang terpapar dengan klaim yang menyesatkan sering kali merasa tertipu karena produk yang mereka beli tidak memberikan hasil seperti yang dijanjikan dalam iklan.
Hal ini dapat menyebabkan kekecewaan yang mendalam, terutama bagi mereka yang mengharapkan hasil tertentu dari produk perawatan kulit. Salah satu dampak utama dari iklan yang menyesatkan adalah kerugian finansial. Konsumen menghabiskan uang mereka untuk produk yang ternyata tidak efektif atau bahkan berisiko bagi kesehatan. Produk perawatan kulit yang diklaim berlebihan sering kali menjanjikan manfaat yang berlebihan tanpa dukungan bukti ilmiah yang jelas, yang dapat meningkatkan risiko kesehatan, seperti iritasi kulit, alergi, atau efek samping lainnya. Selain itu, klaim yang tidak realistis dapat menciptakan ekspektasi yang tidak dapat dicapai, sehingga merusak kepercayaan konsumen secara keseluruhan terhadap produk perawatan kulit.
Selain kerugian finansial dan kesehatan, dampak psikologis juga tidak dapat diabaikan. Konsumen yang merasa dirugikan oleh klaim palsu atau produk yang tidak sesuai dengan yang dijanjikan sering kali mengalami rasa kecewa, frustrasi, dan bahkan kehilangan kepercayaan terhadap merek secara keseluruhan.
Selain kerugian finansial dan kesehatan, dampak psikologis juga tidak dapat diabaikan. Konsumen yang merasa dirugikan oleh klaim palsu atau produk yang tidak sesuai dengan yang dijanjikan sering kali mengalami rasa kecewa, frustrasi, dan bahkan kehilangan kepercayaan terhadap merek secara keseluruhan.
Hal ini dapat membuat mereka cemas atau ragu untuk mencoba produk serupa di masa depan, bahkan jika produk tersebut berasal dari merek yang benar-benar menjaga kualitas dan transparansi. Dalam jangka panjang, insiden semacam ini berpotensi menciptakan persepsi negatif terhadap industri perawatan kulit secara luas. Dampak sosialnya juga cukup besar, dimana konsumen menjadi lebih skeptis terhadap informasi yang disampaikan melalui media pemasaran digital, seperti e-commerce atau media sosial, sehingga mengurangi keefektifan platform ini sebagai alat pemasaran yang kredibel.
No comments:
Post a Comment